Friday, October 4, 2013

Kota Ubud, Surga Kereta

Di kota Medan, kata 'sepeda motor' sering disebut 'kereta'.
Setelah bertahun-tahun di kepulauan Nusantara ini, aku baru saja menyadari bahwa selain memiliki arti "sepeda motor" ada titik umum satu lagi diantara kedua kata itu: kota Ubud, Bali (Anda penasaran? Silakan baca).

Bagi yang belum pernah ke lokasi itu, anda harus tahu: Angkot Ubud itu satwa yang nyaris punah, maka jika anda ingin mandiri, anda harus memiliki/menyewa sepeda motor.

"Ya iyalah sewa motor. Mang loe pikir Ubud itu kek Jakarta, tinggal naik busway gitu?"

Tenang dulu, aku belum selesai... Tetapi, sindinran anda sangat menarik. Sebenarnya, andaikan anda menjelajahi Jalan Raya Ubud diantara jam 12 siang dan 5 sore, pendapat anda pasti berubah… Ternyata Ubud itu mirip Jakarta. Banget.

"Ngaco aja loe, Ubud itu satu jalan, tiga gang dan satu pasokan tukang yoga, apa hubungannya ama Jakarta coba?"

Hubungannya… Bus-bus ukuran medium dan besar berantai-rantai, yang berhenti di pinggir jalan secara tidak teratur, gerombolan-gerombolan pemuda bermotor yang mengalir ke Circle K (pengganti lokal "Sevel") tiap pulang dari sekolah, dan kadar macet yang menjamin asupan harian karbon monoksida anda.

"Lho. Kota segede dua biji beras kok macet?"

Entah. Perkembangan setengah liar kek, arus wisatawan yang terus menderas kek, kekurangan tempat parkir kek… Yang pasti, seketika  kendaraan apapun berusaha meninggalkan jalur utama untuk belok ke gang-gang di sampingnya, satu jalur harus berhenti. Kalau seorang sopir berpapasan dengan temannya, dia akan mengurangi kecepatannya hingga pengendara sebanyak tujuh banjar terpaksa merayap di belakangnya. Kalau soerang tamu nan lalai memutuskan untuk menyebrangi jalan, lalu berhenti di tengah-tengah sambil meresapi makna alam semesta, Seluruh kota Ubud harus diam.

"Dan, udah ah. Kebangetan. Terus hubungan ama kereta apa sih?"

Di Jakarta, lalu lintas seperti lautan: arusnya ada pasang dan surutnya, pelan tapi pasti. Di sana sepeda motor memang layak disebut sepeda motor: bermotor, padahal lambat seperti ontel.

Namun, di ubud, tidak ada istilah 'lautan kendaraan'. Arusnya tidak pasti, dan jalannya seperti rel kereta. Dan anda kan sudah tahu: di jalan rel, kalau gerbong depan tidak maju, gerbong-gerbong di belakangnya tinggal diam, duduk manis menunggu jemputan.

Demikian.

Thursday, August 22, 2013

Titik Nol: Kenapa Bahasa Indonesia?


Iya, aku tahu. Aku soerang ekspat alias WNA aka bule. Bebas saja mau panggil aku apa, si botak, bule palsu, sang pencipta… bukan masalah. Saking lama aku injak tanah Indonesia, nama asli aku sudah dibongkar, didandani dan dipasang lagi dengan warna merah putih, berkibar seperti bendera pada hari kemerdekaan.

Setiap hari makan nasi. Setiap hari nongkrong ngerumpi bersama rekan-rekan kantor yang hampir semua berasal dari kota Bandung atau Yogyakarta. Sekarang saja, lambungku masih mengandung sisa minumban bersoda Tebs dari warteg di samping kantor.

"Yah, sudah lah ya Dan, kita kan sudah tahu. Kamu di Indonesia sudah cukup lama, nggak usah pamer"

Eh… tunggu dulu coy, ane kan blom slasai ngomong! Ada tapi-nya lho!

(Ini dia) TAPIIIIII…

Sehabis bekerja, ketika pulang ke tempat hunianku yang belum layak disebut rumah namun jauh lebih lengkap daripada kamar indekost (buset aku suka toh kata… cocok deh buat anak-anak disko di jakarta… DJ Kevin In Da House, DJ Putri Indekost, yang satu lagi ng-hobi sambil berliburan, yang satu lagi mencari muka, nama dan adrenalin dengan gaji setara tukang cuci piring… [/intermezzo])… Intinya, setelah pulang, aku suka lari ke dapur dengan tujuan masak roti prancis. Kalau nggak, salad. Kalau nggak pasta. Saat berkumpul dengan teman-teman, mereka sering terdiam seperti mengheningkan cipta saat aku bercanda dengan penuh ketidaksenambungan tentang korelasi diantara marmut dan oven microwave. Bahkan aku haru berusaha cukup keras untuk menahan refleks cupika-cupiki saat perkenalan dengan orang baru.
Inilah keprancisanku. Nan totok.

Dengan mengetahui fakta-fakta yang sangat penting ini…

"Anjius Dan… bahasa loe kek anggota DPR… loe bisa nggak cepetin dikit cerita loe? Kita lapar neh ntar kena maag"

PRET! Sabar dikit bisa nggak ya?


  1. Nampaknya, ceritaku ini sudah berkepanjangan. Baik, aku berikan kalian versi TL;DR (Terlalu Lama; Dah Rontok). Tulisan-tulisan di blog ini adalah ombak-ombak hatiku yang dipancar oleh layar kalian (cieee). Aku tidak ingin blog ini dibaca oleh orang yang tidak bisa anggap intinya. Jika anda paham kata-kataku, anda pasti juga memahami perjuanganku untuk menjinaki bahasa gampang nan rumit ini. Kalau anda tidak mergerti, anda salah kamar, sebaiknya anda mencoba mampir ke blog seberang yang membahas asusilanya perampuan lokal dan susah-payahnya kehidupan di Indonesia dengan gaji sepuluh kali lipat daripada warga-warga setempat. Elitiskah aku? Mungkin. Jadi?
  2. Aku memang ingin memperbaiki kemampuanku dalam bahasa Indonesia. Tidak ada salahnya dan aku dapat menyindir kaum bule dan kaum CaBul (calon bule alias penjajah mingguan aka wisatawan) semau-mauku.
  3. Tidak ada alasan lain.
  4. Tidak ada poin ke-empat.


"Jadi loe bikin intro setebal alis bencong dan poin-poinnya dua doang?"

Ya terus? Koleksi alis bencong aku sudah bayak. Sayang nggak dipakai...