Saya sempat membaca naskah bapak di halaman ini. Bapak harus tahu bahwa naskah ini sudah menjadi viral, sehingga banyak teman saya membagi linknya di Facebook. Setelah selasai baca, saya jadi terinspirasi untuk mengumumkan sudut pandang saya, bukan dengan maksud mematahkan tulisan bapak, tetapi karena:
1) Saya berasal dari Prancis, tapi sudah lama saya tinggal di Indonesia (kurang lebih 10 tahun) dan saya sempat kuliah di Indonesia (UNPAD) selama satu semester. Ternyata, sistem pendidikan negara asal saya dan negara asal bapak sangat mirip.
2) Saya seorang 'drop out' SMA yang sempat menghadiri kuliah selama dua tahun, sehingga saya pernah mengalami hasil 'swa-didikan' dan juga pendidikan formal. Saya pikir bapak mungkin tertarik dengan sudut padang saya.
Selamat membaca, dan silakan dikoreksi kalau menurut bapak ada yang keliru.
Realitas sistem pendidikan.
Sebelum membahas soal pujian atau tekanan, saya pikir kita harus sadar bahwa, dari sisi pelajar, dunia pendidikan dan 'dunia luar' mempunyai standar pencapaian yang berbeda.
Betul, hasil ujian dapat menjadi hal yang sangat amat penting bagi beberapa pelajar yang melihatnya sebagai pintu keluar dari situasi pribadi yang kurang menyenangkan. Apalagi di Indonesia, di mana pendidikan tinggi merupakan investasi besar.
Namun kegagalan profesional bisa mengakibatkan kemiskinan secara mendadak, orang masih bisa mencari nafkah apabila mereka 'drop out'. Sebaliknya, belum tentu seorang sarjana dapat mencari nafkah bila dia tidak siap berjuang sampai jungkir balik.
Inilah perbedaan terbesar di antara dua sisi itu. Oleh karena itu, tidak sedikit orang berpendapat bahwa "Dunia ini kejam, dunia kerja kejam, maka sistem pendidikan harus ikut kejam agar generasi mudah dilatih untuk menghadapi industri dan kehidupan kita ini yang sangat kompetitif". Namun, dengan standar yang berbeda, bagaimana mungkin generasi muda menghadapi hidup pasca -akademis dengan tenang?
Perbedaan satu lagi, yang tidak dapat diabaikan, adalah: sistem pendidikan berdasarkan transfer informasi secara ekslusif (sang guru memberi, sang murid menerima) sedangkan transfer informasi di dunia luar dilakukan secara mutual (saling balas-membalas).
Perbedaan besar ketiga: secara rutin para pelajar disuruh mengatasi tantangan-tantangan (ujian) yang merupakan bagian dari sistem tertutup, dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, sedangkan di luar sekolah semua hal di keseharian kita saling berinteraksi sebagai sistem terbuka atau semi terbuka. Dengan kata lain: aturan-aturan hidup jauh lebih kompleks daripada aturan-aturan sekolah, jauh lebih 'out of the box'.
Muncullah pertanyaan utama saya: bagimana mungkin melatih generasi muda kalau standar dunia pendidikan dan dunia luar berbeda?
Punishment and Praise: A false dychotomy.
Kembali ke soal pujian, saya pikir bahwa pujian VS tekanan merupakan suatu pilihan tidak relevan. Sudah terbukti bahwa dalam proses belajar, hukuman dan pujian sama-sama berguna ketika dipakai dengan sesuai.
Belajar dari kesalahan sendiri adalah bagian dasar dari penggalaman kita sebagai manusia. Dalam dunia karir, mengabaikan kekurangan diri sendiri atau 'keukeuh' mempelajari hal-hal yang tidak sesuai dengan pribadi atau kemampuan kita, berarti gagal. Dunia kerja tidak menghitung cita-cita atau perjuangan kita, yang penting hanya mutu kerja… Syukurlah kalau kita tahu di mana titik lemah kita, biar fokus kita bisa diarahkan ke titik kuat dan, kalau caranya kasih tahunya kasar, sabarlah kita.
Di sisi lain, memuji, mendorong, mendukung memang sangat berguna agar memicu ketertarikan dan membangun kepercayaan diri orang. Berguna juga ketika kita bimbang akan penempatan dan pengaruh diri kita di tengah masyarakat.
Bagaimanapun, evaluasi hasil metode menghukum dan menguji dalam konteks pendidikan menurut saya sama dengan menanam pohon simalakama: fokus ke hukuman akan memicu rasa takut sehingga motivasi para pelajar padam, dan fokus ke pujian akan merendahkan standar pencapaian yang sudah tidak cocok dengan kenyataan dunia masa kini.
Penyesuaian: belajar mandiri, secara mandiri.
Sejak sosialisasi internet beberapa tahun yang lalu, pengetahuan telah menjadi barang konsumsi umum, dan sikap pengguna Internet dipengaruhi langsung oleh metode-metode dunia pendidikan.
Ternyata kita bisa menyaksikan bahwa kebanyakan orang belum siap menavigasi arus data yang tersedia dalam jaringan global itu.
Munculnya ratusan berita palsu, gambar editan dan filsafat ala kadar. Mengasimilasi data-data tak bermutu tersebut sebagai kebenaran menunjukkan bahwa walaupun generasi muda sudah pintar menghafal dan mengelola informasi dalam konteks tertutup, mereka masih bingung, malas atau pun tidak tahu cara memakai data yang tersedia sebagai alat pendukung pengembangan diri.
Bukan cuman itu. Keinginan mereka untuk diakui dan diperhatikan juga merupakan suatu hal yang cukup memprihatinkan: ternyata, dari kelompok yang disebut 'alay' hingga tokoh-tokoh online yang terkenal sebagai tokoh intelektual, mereka semua seperti berlomba untuk mengafirmasi eksitensi dan pribadi mereka. Status update, pameran gadget dan makanan, hasil psikotest online… ternyata mereka membutuhkan pendapat pihak ketiga untuk menjawab pertanyaan "siapakah aku", "bergunakah aku?"… Herankah kalau jawabannya berupa jumlah 'likes' atau 'follower'? Apakah angka-angka itu kalau bukan nilai?
Mempertanyakan status-quo, mencari kekurangan logis dalam suatu argumen dan memisahkan data-data berdasarkan mutunya tidak diajarkan di sekolah. Lebih parah lagi, pengetahuan pribadi dan kemampuan untuk menciptakan karya nyata ditukar dengan sistem penilaian yang abstrak dan terpisah dari standar keseharian dan dunia kerja.
Lebih jauh dari soal nilai, sikap generasi muda memunculkan akar masalahnya: skill yang mereka pelajari hanya berlaku dalam beberapa sistem tertutup dan eksklusif. Mereka belajar untuk mendapatkan nilai atas asimilasi data, tetapi tidak belajar untuk memperbaiki diri dan menata interaksi dirinya dengan dunia luar.
Menjaga kadar pujian dan hukuman memang penting, tapi bukan sebagai perbaikan sistem pendidikan sekarang: tidak mungkin mengatasi masalah dengan kriterianya sendiri, sistem yang bermasalah harus dibongkar.
Agar pohon simalakama tadi dapat ditumbangkan, sistem pendidikan harus berubah secara drastis, dengan menyesuaikan standarnya dengan standar keseharian dan dunia kerja kita.
Kemandirian belajar dan mengatasi tantangan
Secara rutin, penerjemah memakai kamus, pengacara memakai riset dan database riset orang lain, ilmuwan memakai komputer dan hampir semua profesi menggunakan internet.
Sukses di dunia kerja sekarang berarti mempunyai kemampuan untuk memperbaharui pengetahuan dan metode bekerja, terus menerus, secara mandiri.
Padahal, para pelajar masih diharuskan untuk menghafalkan jumlah data yang luar biasa, dari mata pelajaran yang sangat bervariasi. Daripada mencoba memuat data tersebut ketat-ketat dalam otak para pelajar (sampai akhirnya semua dibongkar dan dilupakan setelah ujian), kenapa mereka tidak diajarkan metode pencarian, pemeriksaan, pengelolaan dan pengunaan data yang sah dan masuk akal?
Penasaran
Saya bekerja dengan komputer sejak 15 tahun yang lalu. Komputer pertama saya sempat diutak-atik mati-matian dari software sampai casing. Sekarang, pengolahan gambar dan programing sudah jadi bagian penuh dari kehidupan saya. Lagipula, bekerja dengan komputer merupakan sumber dana terbesar saya.
Saya tidak pernah belajar ilmu informatika di sekolah, dan banyak teman saya yang bekerja sebagai developer perangkat lunak juga autodidak.
Yang menarik dari dunia informatika adalah: para programer selalu harus mencari cara baru untuk mencapai hasil yang sama. Apapun cara mereka, 'if it works, it works'.
Tetapi, di sekloah, pelajar yang mencoba pendekatan yang berbeda dari pendekatan yang diajarkan oleh gurunya malah disuruh kembali ke metode baku, bahkan sekalian dihukum. Yang diuji bukan kinerja, tapi kemampuan mengikuti aturan. Dalam beberapa kasus, sikap ini dapat dipahami: memang dua tambah dua sama dengan empat. Namun demikian, bagaimana nasib para penggemar sastra, psikologi, ekonomi, dan semua ilmu yang tidak termasuk 'exact science'?
Harusnya, para pelajar dikasih kebebasan untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan setiap sisi dari ilmu yang mereka pelajari, biar mereka menemukan sendiri jawaban yang tepat, biar mereka menentukan sendiri cara belajar yang paling sesuai dengan pribadi mereka. Dan yang paling penting, biar memelihara keinginan mereka untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Advokasi
Kalau motor saya rusak, saya akan membawanya ke bengkel. Saya akan menilai servis bengkel itu berdasarkan kecepatan dan akuratnya perbaikan pada motor saya. Kalau tiba-tiba saya memutuskan untuk menambahkan kemampuan masak, nyanyi atau bahasa inggris bapak tukang bengkel sebagai kriteria mutu servisnya, saya jamin bapak itu akan marah.
Bagaimana dengan pelajar, yang dinilai atas kemampuan dalam beranekaragam subyek, dari sejarah sampai fisika? Pada jaman sekarang pengetahuan sudah sangat mudah diakses, jadi mengapa harus memaksakan pelajar untuk meneliti hal-hal yang tidak relevan pada kemampuan mereka? Kalau mereka tidak suka sama sejarah dan tertarik pada matematika, kenapa tidak membiarkan mereka belajar metematika saja, daripada membuang waktu dan energi mereka dan guru mereka?
Teamwork
"Jangan nyontek!" adalah suatu ucapan yang sangat sering didengar di ruang kelas. Padahal, menghasilkan sesuatu berdasarkan sebagian dari kerjaan orang lain atau dengan kerjasama dengan orang lain itu hal yang paling dasar dalam dunia kerja dan interaksi sosial.
Dari IT hingga design, tidak ada satupun karya yang tidak terispirasi dari karya lain, bahkan kebanyakan teknologi moderen hanya bisa diciptakan melalui kerjasama.
Saya tahu bahwa kalimat itu diucap untuk mendorong pelajar untuk bekerja sendiri serta mengaplikasikan kemampuan sendiri. Masalahnya, sendiri tidak berarti mandiri, dan melakukan sesuatu yang kompleks tanpa kolaborasi dengan orang lain bukan tantangan, tetapi halangan: tenaga yang dipakai untuk melengkapi kekurangan kita, yang tidak dilengkapi oleh orang lain, tidak bisa dipakai untuk memaksimalkan kelebihan kita. Dengan cara itu, pelajar tidak dapat mengamati keuntungan 'teamwork' dan kinerjanya sendiri menjadi tidak optimal. Lebih parah lagi, saat pelajar menjadi pemimpin, dia akan kesulitan untuk berbagi tugas dengan karyawan dan partnernya.
Daripada 'jangan nyontek!', harusnya mengujar 'jangan sombong, kerjasamalah!' karena ujiannya berupa karya bersama.
Mau jadi apa nanti?
Sekarang, pasti pelajar akan menjawab pertanyaan ini dengan jenis tugas yang mereka ingin kerjakan: mau jadi dokter, pengacara, penulis…
Sistem pendidikan akan maju saat mereka menjawab "Saya mau jadi leader industri yang sesuai kemampuan saya", "Saya mau memajukan ilmu yang saya sempat mempelajari", "Saya mau mempermudah cara berkomunikasi antar manusia"… "Saya ingin berkontribusi pada masyarakat"…
Jawaban idealnya: "Saya ingin jadi orang". Karena orang bisa berkembang, berubah, adaptasi… tidak seperti komputer, yang hanya bisa hafalkan data dan mengikuti aturan baku.