Sunday, February 9, 2014

Adik

Telepon genggam saya bergetar untuk kesekian kali hari ini. Suaranya terdengar sangat nyaring di kamar indekos saya yang tidak pernah kenal suara TV atau radio.
Dua getaran singkat, tanda saya sudah terima sms baru. Saya bisa menebak siapa pengirimnya. Isinya juga tidak usah dibaca. Apapun kata-katanya, intinya tetap sama: "Tolonglah Aku".


Sebenarnya, getaran demi getaran, saya jadi malas menghadapi layar smartphone ini. Saya memikirkan pengirim pesan singkat bertubi-tubi  ini, yang menegangkan pikiranku semenjak tadi pagi. Namun, tidak bisa saya abaikan.


Adikku, kamu tahu betapa saya perduli akan kebahagianmu, walau kita berbeda ayah, berbeda ibu, berbeda ras. Istilahnya  "adik angkat", saya terima dengan hati terbuka. Dirimu saya terima agar kamu saya bisa topang, agar kamu saya bimbing… agar kamu saya angkat.


Tetapi, adik tersayang, benak saya letih. Syaraf-syaraf saya kehabisan tenaga listrik, tak ada lagi informasi yang bisa saya olah untuk membalas tangisan elektronikmu. Yang tersisa, ketika saya mampu mengusir amarah akan kondisi hidupmu, adalah pertanyaan.


Ingatkah, adik, saat kita menertawakan pengujung mall-mall murahan? Yang berpenampilan gaya tak selera, yang sepertinya hanya bisa menggapai kesenangan melalui barang-barang yang sedikit mirip benda milik orang yang lebih sugih dari mereka?


Ingatkah, adik, saat kita ngamen berdua di Taman Menteng demi berbagi rejeki dengan bocah-bocah yang  mengemis pada malam hari? Dan momen-momen lain di mana kita melawan semua ketidaksinambungan dalam hidup kita ini dengan senyum tengil dan candaan tidak jelas?


Ingatkah… Saat tangisanmu pecah bukan karena masalah pribadimu, tetapi karena semangat untuk masa depanmu tak terbendung?


Kebahagianmu saat kamu lulus kuliah, banggamu saat kamu traktir saya pada malam hari gaji pertamamu, harum parfum pertamamu, semua jejak perkembanganmu saya simpan, tercatat di jidatku.


"Aku bisa sendiri, aku bisa mandiri" bukankah itu yang sering kamu katakan?


Hape saya, saya matikan. Sikring pikiranku pecah, arusnya berhenti sejenak. Apa memang saya harus menghabiskan semua tenaga saya untuk menghadapi masalah orang lain?


Sudah dua hari saya mandi bebek pakai air galon gara-gara pipa-pipa tempat indekos saya tersumbat, saya berutang belasan juta rupiah pada beberapa teman gara-gara boss saya lebih suka main judi daripada bayar gaji karyawannya, belum lagi soal hati… yang mending tidak dibahas sekarang. Hidup saya sendiripun tidak bebas masalah.


Hape saya nyalakan. Kamu pernah melewati masa-masa sulit, wajahmu pernah bercelemotan debu dan asap, saat kamu jadi kucing jalanan, anak hilang, anak induk kotamu. Jakarta yang mengandung semua jenis polusi dari polusi udara sampai polusi mata. Kota yang dianggap kota impian, walaupun buat beberapa orang kota itu sudah terasa seperti dubur dunia. Jakarta itu alkohol -mengundang dan tajam dalam waktu yang bersamaan, tapi kamu telah menjinakanya.


Namun, hari ini kamu tidak mampu berujar 'tidak'. Masalah ini sebetulnya tidak terlalu rumit: semalam, orang tua kamu tidak ada di rumah. Ternyata mereka sedang menjodohkanmu dengan seorang lelaki yang tidak pernah kamu sukai. Kamu sudah diberi tahu, kamu harus menjadi istri kedua pria nan keras dan kasar itu. Alasannya, kata seorang dukun, dia akan bawa harta besar pada keluargamu.


Hape saya matikan, kali ini saya cabut baterai supaya tidak tergoda untuk menyalakannya lagi. Rasa sakit mulai mengalir di leherku, tanda migren saya akan segera kambuh. Namun saya tidak bisa berhenti berpikir.


Apa adik saya sebenarnya punya kembaran yang percaya pada dunia gaib, kembaran yang tidak cukup kuat untuk memilih jalan hidupnya sendiri? Apa sebab kepasrahanmu? Bagaimana mungkin kamu menyerahkan hidupmu kepada seorang kakek bodoh yang hanya bisa memuja dewa Rupiah? Apa memang semua wanita berkepribadian ganda, yang satu rasional dan mandiri, yang satu pasrah dan segan?


Rasanya tengkorakku meledak dipecah palu gada. Bukan hanya jelangkung yang datang tak diundang, migren juga bisa. Toh migren dipicu oleh teka-teki yang kamu susun di kranium saya. Carut marut pikiranku membentuk labirin. Saya tersesat di dalamnya.


Namun, tanda tanya yang berlipat ganda di belakang rasa sakit kepala ini tidak berani merintih lagi. Migren jauh lebih berisik. Cukup aneh, pukulan palu raksasa itu mampu menata akal sehat saya, mungkin karena saya tidak kuat multitreading lagi. Ide-ide saya tidak lagi dapat berkembang liar.


Kamu terpenjara status quo, ini lah perkaranya. Terjebak kebiasaan-kebiasaan yang dianggap bagian penuh dari budayamu. Saya salah. Saya anggap kamu ingin membahas masalahmu pahadal kamu hanya ingin didengarkan, oleh saya ataupun oleh kamu sendiri.
Baterai telpon genggaman saya, saya pasang lagi. Setelah proses boot, saya langsung mencari namamu di contact list : "Adik".


Jemariku menari diatas layar sentuh. "Nikahi lah, orang itu, kalau kamu begitu pasrah. Dia adalah solusi semua masalahmu. Sementara ini, saya masukkan nomormu didaftar  blocked numbers saya. Selamat tinggal."


Siapa yang tahu? Mungkin dalam jangka waktu yang dekat, kamu akan menghubungi saya lagi melalui nomor baru. Mungkin kamu akan benci saya, kemudian menikahi si pria kasar itu untuk segera bercerai.


Mungkin kamu akan terus menyerah.


Saya minta maaf, adik. Tetapi kepasrahan adalah penyakit yang hanya bisa disembuhkan oleh diri kita sendiri.


Semoga kamu sembuh.


PS: terimakasih banyak pada Utami, penulis di balik fujiwiryani.wordpress.com, atas editannya.

No comments:

Post a Comment