Saturday, July 19, 2014

Saya Mau Jadi Orang : Surat terbuka kepada Prof. Rhenald Kasali, Ph.D

Bapak Kasali yang terhormat.

Saya sempat membaca naskah bapak di halaman ini. Bapak harus tahu bahwa naskah ini sudah menjadi viral, sehingga banyak teman saya membagi linknya di Facebook.

Setelah selasai baca, saya jadi terinspirasi untuk mengumumkan sudut pandang saya, bukan dengan maksud mematahkan tulisan bapak, tetapi karena:

1) Saya berasal dari Prancis, tapi sudah lama saya tinggal di Indonesia (kurang lebih 10 tahun) dan saya sempat kuliah di Indonesia (UNPAD) selama satu semester. Ternyata, sistem pendidikan negara asal saya dan negara asal bapak sangat mirip.

2) Saya seorang 'drop out' SMA yang sempat menghadiri kuliah selama dua tahun, sehingga saya pernah mengalami hasil 'swa-didikan' dan juga pendidikan formal. Saya pikir bapak mungkin tertarik dengan sudut padang saya.

Selamat membaca, dan silakan dikoreksi kalau menurut bapak ada yang keliru.


Realitas sistem pendidikan. 


Sebelum membahas soal pujian atau tekanan, saya pikir kita harus sadar bahwa, dari sisi pelajar, dunia pendidikan dan 'dunia luar' mempunyai standar pencapaian yang berbeda.
Betul, hasil ujian dapat menjadi hal yang sangat amat penting bagi beberapa pelajar yang melihatnya sebagai pintu keluar dari situasi pribadi yang kurang menyenangkan. Apalagi di Indonesia, di mana pendidikan tinggi merupakan investasi besar.
Namun kegagalan profesional bisa mengakibatkan kemiskinan secara mendadak, orang masih bisa mencari nafkah apabila mereka 'drop out'. Sebaliknya, belum tentu seorang sarjana dapat mencari nafkah bila dia tidak siap berjuang sampai jungkir balik.

Inilah perbedaan terbesar di antara dua sisi itu. Oleh karena itu, tidak sedikit orang berpendapat bahwa "Dunia ini kejam, dunia kerja kejam, maka sistem pendidikan harus ikut kejam agar generasi mudah dilatih untuk menghadapi industri dan kehidupan kita ini yang sangat kompetitif". Namun, dengan standar yang berbeda, bagaimana mungkin generasi muda menghadapi hidup pasca -akademis dengan tenang?

Perbedaan satu lagi, yang tidak dapat diabaikan, adalah: sistem pendidikan berdasarkan transfer informasi secara ekslusif (sang guru memberi, sang murid menerima) sedangkan transfer informasi di dunia luar dilakukan secara mutual (saling balas-membalas).

Perbedaan besar ketiga: secara rutin para pelajar disuruh mengatasi tantangan-tantangan (ujian) yang merupakan bagian dari sistem tertutup, dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, sedangkan di luar sekolah semua hal di keseharian kita saling berinteraksi sebagai sistem terbuka atau semi terbuka. Dengan kata lain: aturan-aturan hidup jauh lebih kompleks daripada aturan-aturan sekolah, jauh lebih 'out of the box'.

Muncullah pertanyaan utama saya: bagimana mungkin melatih generasi muda kalau standar dunia pendidikan dan dunia luar berbeda?

Punishment and Praise: A false dychotomy. 


Kembali ke soal pujian, saya pikir bahwa pujian VS tekanan merupakan suatu pilihan tidak relevan. 
Sudah terbukti bahwa dalam proses belajar, hukuman dan pujian sama-sama berguna ketika dipakai dengan sesuai.

Belajar dari kesalahan sendiri adalah bagian dasar dari penggalaman kita sebagai manusia. Dalam dunia karir, mengabaikan kekurangan diri sendiri atau 'keukeuh' mempelajari hal-hal yang tidak sesuai dengan pribadi atau kemampuan kita, berarti gagal. Dunia kerja tidak menghitung cita-cita atau perjuangan kita, yang penting hanya mutu kerja… Syukurlah kalau kita tahu di mana titik lemah kita, biar fokus kita bisa diarahkan ke titik kuat dan, kalau caranya kasih tahunya kasar, sabarlah kita.

Di sisi lain, memuji, mendorong, mendukung memang sangat berguna agar memicu ketertarikan dan membangun kepercayaan diri orang. Berguna juga ketika kita bimbang akan penempatan dan pengaruh diri kita di tengah masyarakat.

Bagaimanapun, evaluasi hasil metode menghukum dan menguji dalam konteks pendidikan menurut saya sama dengan menanam pohon simalakama: fokus ke hukuman akan memicu rasa takut sehingga motivasi para pelajar padam, dan fokus ke pujian akan merendahkan standar pencapaian yang sudah tidak cocok dengan kenyataan dunia masa kini.

Penyesuaian: belajar mandiri, secara mandiri.


Sejak sosialisasi internet beberapa tahun yang lalu, pengetahuan telah menjadi barang konsumsi umum, dan sikap pengguna Internet dipengaruhi langsung oleh metode-metode dunia pendidikan.

Ternyata kita bisa menyaksikan bahwa kebanyakan orang belum siap menavigasi arus data yang tersedia dalam jaringan global itu.
Munculnya ratusan berita palsu, gambar editan dan filsafat ala kadar. Mengasimilasi data-data tak bermutu tersebut sebagai kebenaran menunjukkan bahwa walaupun generasi muda sudah pintar menghafal dan mengelola informasi dalam konteks tertutup, mereka masih bingung, malas atau pun tidak tahu cara memakai data yang tersedia sebagai alat pendukung pengembangan diri.

Bukan cuman itu. Keinginan mereka untuk diakui dan diperhatikan juga merupakan suatu hal yang cukup memprihatinkan: ternyata, dari kelompok yang disebut 'alay' hingga tokoh-tokoh online yang terkenal sebagai tokoh intelektual, mereka semua seperti berlomba untuk mengafirmasi eksitensi dan pribadi mereka. Status update, pameran gadget dan makanan, hasil psikotest online… ternyata mereka membutuhkan pendapat pihak ketiga untuk menjawab pertanyaan "siapakah aku", "bergunakah aku?"… Herankah kalau jawabannya berupa jumlah 'likes' atau 'follower'? Apakah angka-angka itu kalau bukan nilai?

Mempertanyakan status-quo, mencari kekurangan logis dalam suatu argumen dan memisahkan data-data berdasarkan mutunya tidak diajarkan di sekolah. Lebih parah lagi, pengetahuan pribadi dan kemampuan untuk menciptakan karya nyata ditukar dengan sistem penilaian yang abstrak dan terpisah dari standar keseharian dan dunia kerja.

Lebih jauh dari soal nilai, sikap generasi muda memunculkan akar masalahnya: skill yang mereka pelajari hanya berlaku dalam beberapa sistem tertutup dan eksklusif. Mereka belajar untuk mendapatkan nilai atas asimilasi data, tetapi tidak belajar untuk memperbaiki diri dan menata interaksi dirinya dengan dunia luar.
Menjaga kadar pujian dan hukuman memang penting, tapi bukan sebagai perbaikan sistem pendidikan sekarang: tidak mungkin mengatasi masalah dengan kriterianya sendiri, sistem yang bermasalah harus dibongkar.

Agar pohon simalakama tadi dapat ditumbangkan, sistem pendidikan harus berubah secara drastis, dengan menyesuaikan standarnya dengan standar keseharian dan dunia kerja kita.

Kemandirian belajar dan mengatasi tantangan


Secara rutin, penerjemah memakai kamus, pengacara memakai riset dan database riset orang lain, ilmuwan memakai komputer dan hampir semua profesi menggunakan internet.
Sukses di dunia kerja sekarang berarti mempunyai kemampuan untuk memperbaharui pengetahuan dan metode bekerja, terus menerus, secara mandiri.
Padahal, para pelajar masih diharuskan untuk menghafalkan jumlah data yang luar biasa, dari mata pelajaran yang sangat bervariasi.
Daripada mencoba memuat data tersebut ketat-ketat dalam otak para pelajar (sampai akhirnya semua dibongkar dan dilupakan setelah ujian), kenapa mereka tidak diajarkan metode pencarian, pemeriksaan, pengelolaan dan pengunaan data yang sah dan masuk akal?

Penasaran


Saya bekerja dengan komputer sejak 15 tahun yang lalu. Komputer pertama saya sempat diutak-atik mati-matian dari software sampai casing. Sekarang, pengolahan gambar dan programing sudah jadi bagian penuh dari kehidupan saya. Lagipula, bekerja dengan komputer merupakan sumber dana terbesar saya.

Saya tidak pernah belajar ilmu informatika di sekolah, dan banyak teman saya yang bekerja sebagai developer perangkat lunak  juga autodidak.

Yang menarik dari dunia informatika adalah: para programer selalu harus mencari cara baru untuk mencapai hasil yang sama. Apapun cara mereka, 'if it works, it works'.

Tetapi, di sekloah, pelajar yang mencoba pendekatan yang berbeda dari pendekatan yang diajarkan oleh gurunya malah disuruh kembali ke metode baku, bahkan sekalian dihukum. Yang diuji bukan kinerja, tapi kemampuan mengikuti aturan. Dalam beberapa kasus, sikap ini dapat dipahami: memang dua tambah dua sama dengan empat. Namun demikian, bagaimana nasib para penggemar sastra, psikologi, ekonomi, dan semua ilmu yang tidak termasuk 'exact science'?

Harusnya, para pelajar dikasih kebebasan untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan setiap sisi dari ilmu yang mereka pelajari, biar mereka menemukan sendiri jawaban yang tepat, biar mereka menentukan sendiri cara belajar yang paling sesuai dengan pribadi mereka. Dan yang paling penting, biar memelihara keinginan mereka untuk mendapatkan pengetahuan baru.

Advokasi


Kalau motor saya rusak, saya akan membawanya ke bengkel. Saya akan menilai servis bengkel itu berdasarkan kecepatan dan akuratnya perbaikan pada motor saya. Kalau tiba-tiba saya memutuskan untuk menambahkan kemampuan masak, nyanyi atau bahasa inggris bapak tukang bengkel sebagai kriteria mutu servisnya, saya jamin bapak itu akan marah.

Bagaimana dengan pelajar, yang dinilai atas kemampuan dalam beranekaragam subyek, dari sejarah sampai fisika? Pada jaman sekarang pengetahuan sudah sangat mudah diakses, jadi mengapa harus memaksakan pelajar untuk meneliti hal-hal yang tidak relevan pada kemampuan mereka? Kalau mereka tidak suka sama sejarah dan tertarik pada matematika, kenapa tidak membiarkan mereka belajar metematika saja, daripada membuang waktu dan energi mereka dan guru mereka?

Teamwork


"Jangan nyontek!" adalah suatu ucapan yang sangat sering didengar di ruang kelas. Padahal, menghasilkan sesuatu berdasarkan sebagian dari kerjaan orang lain atau dengan kerjasama dengan orang lain itu hal yang paling dasar dalam dunia kerja dan interaksi sosial.

Dari IT hingga design, tidak ada satupun karya yang tidak terispirasi dari karya lain, bahkan kebanyakan teknologi moderen hanya bisa diciptakan melalui kerjasama.

Saya tahu bahwa kalimat itu diucap untuk mendorong pelajar untuk bekerja sendiri serta mengaplikasikan kemampuan sendiri. Masalahnya, sendiri tidak berarti mandiri, dan melakukan sesuatu yang kompleks tanpa kolaborasi dengan orang lain bukan tantangan, tetapi halangan: tenaga yang dipakai untuk melengkapi kekurangan kita, yang tidak dilengkapi oleh orang lain, tidak bisa dipakai untuk memaksimalkan kelebihan kita. Dengan cara itu, pelajar tidak dapat mengamati keuntungan 'teamwork' dan kinerjanya sendiri menjadi tidak optimal. Lebih parah lagi, saat pelajar menjadi pemimpin, dia akan kesulitan untuk berbagi tugas dengan karyawan dan partnernya.

Daripada 'jangan nyontek!', harusnya mengujar 'jangan sombong, kerjasamalah!' karena ujiannya berupa karya bersama.

Mau jadi apa nanti?


Sekarang, pasti pelajar akan menjawab pertanyaan ini dengan jenis tugas yang mereka ingin kerjakan: mau jadi dokter, pengacara, penulis…

Sistem pendidikan akan maju saat mereka menjawab "Saya mau jadi leader industri yang sesuai kemampuan saya", "Saya mau memajukan ilmu yang saya sempat mempelajari", "Saya mau mempermudah cara berkomunikasi antar manusia"… "Saya ingin berkontribusi pada masyarakat"…

Jawaban idealnya: "Saya ingin jadi orang". Karena orang bisa berkembang, berubah, adaptasi… tidak seperti komputer, yang hanya bisa hafalkan data dan mengikuti aturan baku.

Sunday, February 23, 2014

Renting a bike for your Bali holiday? Here's what you need to know.


This is not the kind of helmet I had in mind.
(source)
I am breaking my oath to solely write in Indonesian on this blog. This, though, is for the common good (well kind of).
See, I live in Ubud, Bali, Indonesia, and every day I see tourists riding motorcycles in very dangerous ways, mostly for themselves, sometimes for others.
Accidents happen frequently, bandages and casts are far from being rare, and I wonder how many tourist-motorist (motourists?) have actually sat on a saddle before flying here.

Traffic in Indonesia is rather unique and, to understand it a little better, here is a little sum up I have done with the help of several Ubud denizens.
If, after reading this, you don't feel up to the challenge, nobody will blame you. Id you do, happy riding, and stay safe!



What changes?

Indonesian driving philosophy is… Different.

Being behind the wheel in Europe and in many 'developed countries' often mean that "There are rules, we obey them, and screw the ones who don't".
In Bali, things work slightly differently, and by that I mean that it's the exact opposite.
"There are rules, who cares? I'll take care of not running into others and be vigilant".
If in some countries driving can become a race, in Bali it becomes a walk. A walk in the crowd that is.

The roads are crowded with motorbikes.

The motorbike/car ratio in Bali is grossly 7/1. You will find yourself drowned in a flow of two-wheelers more often than you could imagine. It means less space, more low speed control and a lot of cool to keep.
It also means that lanes roads are only seen as such by car drivers. Almost every road in Bali is considered as a 4 lanes road for motorbikes.


Blinkers, Horns… about that...

In short: never trust a blinker and never think a horn is honked against you.
You will need to anticipate a lot, and understand that a 'toot' here and there means that someone is overtaking or warning you about something. Or saying hi. Or having fun.

Brakes? BRAKES!

The recrudescence of automatic transmission cars and motorbikes is having a disastrous effect on the local traffic flow. Without an engine brake (hrm, sort of), motorists tend to stop for anything ranging from a pothole to a slight right turn. You're warned.

All roads lead to surprises.

Your number one enemy is the road. Roads in bali can be disastrous. Between gravel, chalk, potholes and wandering animals, you'll have your share of surprises. Bumpy, squishy, slippery surprises.


Tips

Wear a helmet

I would go and tattoo "DUH" on my forehead if this obvious, obvious precaution wasn't ignored so often. A full helmet costs 40$. It won't ruin your holidays and will preserve your head, nose and teeth in case of a crash. In Ubud, I see many bare headed riders apparently thinking that the universe protects them. I also know several people with fake teeth.

I am not this only one having this point of view. Quoting Yasmine:
" And I often see female tourists not wearing a helmet, They drive fast even thought they have a passenger . Some times a go I hear a lovely long term tourist fell from her bike, got several broken bones, slashes on her face, lost many teeth. Good bye to lovely...because she's a reckless driver ."

Also, and this is not a joke, a helmet might save your life in case of falling coconuts, and save you a pretty bad time would a hornet/fly/bat come in high speed contact with your face or eyes. Yes it happened to me, even the bat (the coconut missed me by a meter though).

Don't go shirtless

Not only is it considered impolite by the locals and gross by everybody, but wearing at least some fabric to protect your limbs against the sun and a serious case of road rash will be beneficial.
I've seen what sliding on asphalt did to my friend's arm and back, and I wish it to nobody.

Use your lights (wisely).

Driving with your light on at any moment of the day or night is recommended. For the sake of all that's good, light up comes the evening.
Also, remember your blinkers. Locals don't use them much but they do notice them. I cannot count how many times I have seen tourists turning without signaling. Don't forget to turn them off either.
Correctly used lights are keys to avoiding being reared full speed by a storming vehicle.

Keep your motorbike well maintained.

Renting a bike doesn't prevent deflated tires and dysfunctional lights. While picking your ride, make sure brakes, lights and tires are in a good state. If anything breaks during the rental period, prefer fixing it immediately. It won't cost you much. Not fixing it might.

Bruce advises: "Always check that your lights all work (particularly the rear and brake lights)!"

Look forward while cruising.

Why? Because that's what everybody does here. Rear view mirrors are great to check every now and then especially when switching lanes at lower speed or going out a parking spot.
While riding at normal speed though, every single driver in Bali will be focused exclusively on predicting what the ones in front of them are going to do. Do the same and look forward, since the ones in front of you expect you to pay attention.

GO forward while cruising.

To quote one of my Facebook friend Annie:

 "DONT STOP in the middle of the road  The chaos principle works so well until a newbie gets freaked out by the merging traffic and...stops "

Nothing to add.

Learn how to brake (and all the rest)!

As Iwan added in the comments, learning to brake is essential. Read brake too hard and you will skid, front brake too hard and you will fly. Finding the right balance for the right speed, knowing how to pump brake or how to keep your distances doesn't come instinctively. You can always take some time to practice (not on the bypass, that would be a bad idea).

Be predictable

I'm sure you know a lot of sleek tricks, and high speed slalom while motorbike-twerking makes you look like you're right out of an action movie.
You can take a 90 degrees turn at 70 KM/h? Good on you.
In Bali, though, slow down, use your blinker, swerve softly and take your curve smoothly.
Or, you know, scare the hell of everybody and potentially trigger a crash.
The same logic can be applied to breaking and parking.

Be confident

Have you ever though of what it would feel like to be a toddler on a roller derby track? Well, if you drive at 20 Km/h while everyone else is doing 45, you'll know.
As long as you know what you're doing and where you're going, though, you should be safe.

Know your limits


As Matthew humorously puts it: "I don't ride in Ubud, I'm too old and too smart for that"


Nothing will protect you against the occasional (daily) crossing dog and sudden brake. Not speeding is a good prevention measure, being aware of your surroundings is another.
Most importantly, if you don't feel comfortable riding a motorbike, do not rent one, end of the story. You'll be doing a favor to everybody, and most of all, yourself.

Don't be an ass

Yves says: "I would need a calculator to count how many times I've seen them texting or holding a phone to their ear while throttling the bike with the other hand"

Me? I've seen tourists do sudden U-turns on a narrow two ways lane, swerve left from the middle of the road to stop and say hi to a friend without any kind of warning (I almost reared that one), people overtaking while going uphill and being all surprise that, oh, there was someone in front of them…
If your hobby is to dodge death, good on you. Roads are full of people who don't share it.
Remembering that your only goal is to safely reach a point A from a point B is the only kindness asked from you. It's really not hard and it could spare you a wasted holiday.



Do you have other tips for driving safely in Bali? Wanna share?

Sunday, February 9, 2014

Adik

Telepon genggam saya bergetar untuk kesekian kali hari ini. Suaranya terdengar sangat nyaring di kamar indekos saya yang tidak pernah kenal suara TV atau radio.
Dua getaran singkat, tanda saya sudah terima sms baru. Saya bisa menebak siapa pengirimnya. Isinya juga tidak usah dibaca. Apapun kata-katanya, intinya tetap sama: "Tolonglah Aku".


Sebenarnya, getaran demi getaran, saya jadi malas menghadapi layar smartphone ini. Saya memikirkan pengirim pesan singkat bertubi-tubi  ini, yang menegangkan pikiranku semenjak tadi pagi. Namun, tidak bisa saya abaikan.


Adikku, kamu tahu betapa saya perduli akan kebahagianmu, walau kita berbeda ayah, berbeda ibu, berbeda ras. Istilahnya  "adik angkat", saya terima dengan hati terbuka. Dirimu saya terima agar kamu saya bisa topang, agar kamu saya bimbing… agar kamu saya angkat.


Tetapi, adik tersayang, benak saya letih. Syaraf-syaraf saya kehabisan tenaga listrik, tak ada lagi informasi yang bisa saya olah untuk membalas tangisan elektronikmu. Yang tersisa, ketika saya mampu mengusir amarah akan kondisi hidupmu, adalah pertanyaan.


Ingatkah, adik, saat kita menertawakan pengujung mall-mall murahan? Yang berpenampilan gaya tak selera, yang sepertinya hanya bisa menggapai kesenangan melalui barang-barang yang sedikit mirip benda milik orang yang lebih sugih dari mereka?


Ingatkah, adik, saat kita ngamen berdua di Taman Menteng demi berbagi rejeki dengan bocah-bocah yang  mengemis pada malam hari? Dan momen-momen lain di mana kita melawan semua ketidaksinambungan dalam hidup kita ini dengan senyum tengil dan candaan tidak jelas?


Ingatkah… Saat tangisanmu pecah bukan karena masalah pribadimu, tetapi karena semangat untuk masa depanmu tak terbendung?


Kebahagianmu saat kamu lulus kuliah, banggamu saat kamu traktir saya pada malam hari gaji pertamamu, harum parfum pertamamu, semua jejak perkembanganmu saya simpan, tercatat di jidatku.


"Aku bisa sendiri, aku bisa mandiri" bukankah itu yang sering kamu katakan?


Hape saya, saya matikan. Sikring pikiranku pecah, arusnya berhenti sejenak. Apa memang saya harus menghabiskan semua tenaga saya untuk menghadapi masalah orang lain?


Sudah dua hari saya mandi bebek pakai air galon gara-gara pipa-pipa tempat indekos saya tersumbat, saya berutang belasan juta rupiah pada beberapa teman gara-gara boss saya lebih suka main judi daripada bayar gaji karyawannya, belum lagi soal hati… yang mending tidak dibahas sekarang. Hidup saya sendiripun tidak bebas masalah.


Hape saya nyalakan. Kamu pernah melewati masa-masa sulit, wajahmu pernah bercelemotan debu dan asap, saat kamu jadi kucing jalanan, anak hilang, anak induk kotamu. Jakarta yang mengandung semua jenis polusi dari polusi udara sampai polusi mata. Kota yang dianggap kota impian, walaupun buat beberapa orang kota itu sudah terasa seperti dubur dunia. Jakarta itu alkohol -mengundang dan tajam dalam waktu yang bersamaan, tapi kamu telah menjinakanya.


Namun, hari ini kamu tidak mampu berujar 'tidak'. Masalah ini sebetulnya tidak terlalu rumit: semalam, orang tua kamu tidak ada di rumah. Ternyata mereka sedang menjodohkanmu dengan seorang lelaki yang tidak pernah kamu sukai. Kamu sudah diberi tahu, kamu harus menjadi istri kedua pria nan keras dan kasar itu. Alasannya, kata seorang dukun, dia akan bawa harta besar pada keluargamu.


Hape saya matikan, kali ini saya cabut baterai supaya tidak tergoda untuk menyalakannya lagi. Rasa sakit mulai mengalir di leherku, tanda migren saya akan segera kambuh. Namun saya tidak bisa berhenti berpikir.


Apa adik saya sebenarnya punya kembaran yang percaya pada dunia gaib, kembaran yang tidak cukup kuat untuk memilih jalan hidupnya sendiri? Apa sebab kepasrahanmu? Bagaimana mungkin kamu menyerahkan hidupmu kepada seorang kakek bodoh yang hanya bisa memuja dewa Rupiah? Apa memang semua wanita berkepribadian ganda, yang satu rasional dan mandiri, yang satu pasrah dan segan?


Rasanya tengkorakku meledak dipecah palu gada. Bukan hanya jelangkung yang datang tak diundang, migren juga bisa. Toh migren dipicu oleh teka-teki yang kamu susun di kranium saya. Carut marut pikiranku membentuk labirin. Saya tersesat di dalamnya.


Namun, tanda tanya yang berlipat ganda di belakang rasa sakit kepala ini tidak berani merintih lagi. Migren jauh lebih berisik. Cukup aneh, pukulan palu raksasa itu mampu menata akal sehat saya, mungkin karena saya tidak kuat multitreading lagi. Ide-ide saya tidak lagi dapat berkembang liar.


Kamu terpenjara status quo, ini lah perkaranya. Terjebak kebiasaan-kebiasaan yang dianggap bagian penuh dari budayamu. Saya salah. Saya anggap kamu ingin membahas masalahmu pahadal kamu hanya ingin didengarkan, oleh saya ataupun oleh kamu sendiri.
Baterai telpon genggaman saya, saya pasang lagi. Setelah proses boot, saya langsung mencari namamu di contact list : "Adik".


Jemariku menari diatas layar sentuh. "Nikahi lah, orang itu, kalau kamu begitu pasrah. Dia adalah solusi semua masalahmu. Sementara ini, saya masukkan nomormu didaftar  blocked numbers saya. Selamat tinggal."


Siapa yang tahu? Mungkin dalam jangka waktu yang dekat, kamu akan menghubungi saya lagi melalui nomor baru. Mungkin kamu akan benci saya, kemudian menikahi si pria kasar itu untuk segera bercerai.


Mungkin kamu akan terus menyerah.


Saya minta maaf, adik. Tetapi kepasrahan adalah penyakit yang hanya bisa disembuhkan oleh diri kita sendiri.


Semoga kamu sembuh.


PS: terimakasih banyak pada Utami, penulis di balik fujiwiryani.wordpress.com, atas editannya.

Monday, February 3, 2014

Andai Tokobagus menjadi biro jodoh

Beberapa hari yang lalu, saya sadar bahwa telepon genggam kesayangan sebenarnya sudah pikun. Gejala-gejalanya: Sering pingsan, suhu baterai tinggi, lupa ingatan, serta sering tidak nyambung pada jaringan…



Pada usia lanjut, hape cenderung meninggalkan dunia with a bang, terkadang secara literal juga. Maka kukubur aja (tidak hidup-hidup, aku matikan dulu) dan cari penggantinya.
Saat itu, sebagai korban modernisasi yang akut, saya langsung meluncur ke situs tokobagus dot kom agar menemukan jodoh digital baruku.


"Dan, biasa ya loe keterlaluan gitu? Mang loe mau kawin ama hape?"


Ah… pertanyaan ini sangat menarik. Kebetulan, saya ingin menceritakan penggalamanku sebagai pemakai situs tersebut dengan menyamakannya dengan pemakaian jasa biro jodoh.


"Rusak loe"


Belum serusak hape lamaku, tenang, masih ada harapan. Mari, kita mulai.
Andai situs tokobagus menjadi biro jodoh, pasti para penjual menjadi sponsor atau anggota keluarga sang calon kekasih, biar memastikan keamanannya serta cita-cita laki-laki yang menghubunginya.


"Sebut aja germo"


Saya minta maaf, tetapi kenapa begitu?


"Yah… germo itu germo. Loe nggak usah pura-pura nggak tahu"


Iya, saya mengerti arti kata itu. Namun saya tidak ingin mengubah judul artikel ini menjadi "andai tokobagus jadi rumah bordil". Demikian.


"Terserah loe"


Memang terserah saya.
Nah, dengan gambaran itu, sang pencari akan mengunjungi situs ini dengan hati yang penuh harapan… harapan yang akan segera bertemu dengan kekecewaan, amarah dan dorongan untuk melakukan kejahatan.


"Nah kan!"


Diam. Dengarkan saja prosesnya.
Ketika dia sudah menemukan wanita idamannya dan memutuskan untuk menelpon sponsornya, sang pencari akan menghadapi berbagai tantangan.

Rebutan sebagai modus penipuan

Kata pak sponsor… "Iya pak, orangnya masih jomblo. Tapi pak harus kirim mas kawinnya dulu, baru kami bisa bertemu bapak. Kalau bapak ingin datang ke rumah, boleh… tapi bapak harus cepat, calon-calon lagi pada berantem di ruang tamu"


Terus terang saya tidak siap mengorbankan hartaku demi kekasih khayalan. Saya pernah mencoba mengajak khayalan ke restoran dan, ternyata, saya berbicara sendiri selama dua jam. Saya juga bukan penggemar free for all, jadi maap, pak, saya tidak tertarik.

Hubungan jarak jauh

Sering terjadi bahwa seorang sponsor mencatat lokasinya di suatu tempat, walaupun dia tinggal di tempat yang berbeda. Jarak diantara kedua tempat itu tidak dekat, biasanya satu pulau.
Saya pernah rasakan pahitnya hubungan jarak jauh. Biasanya, kedua pihak sempat pacaran di tempat yang sama selama beberapa bulan, lalu salah satu harus pergi. Kejadian itu dapat dimengerti. Tetapi bagaimana mungkin saya apel kalau pasangan saya berada di Bandung, Batam atau Jakarta?


Sekali lagi, terima kasih, saya tidak tertarik. Kalau saya ingin berhubungan secara tidak serius, dengan orang yang saya tidak kenal, yang tinggal di luar jangkauan saya… Saya akan mencarinya di Facebook. Semoga para pengguna tokobagus lekas mahir ilmu teleportasi.

Salah genus

Karena kebanyakan orang cenderung lebih memilih wanita dari sisi penampilan daripada kinerja otak, tidak sedikit sponsor mengiklankan jodoh yang mirip wanita, bersifat seperti wanita… tapi sebenarnya…


"…Iya pak, untuk mas kawinnya kami tidak minta banyak. Tapi bapak tahu kan, orangnya… bagaimana ya... Bukan orang."
-"Maksud bapak?"
"Maksud saya bukan orang pak, tapi kambing. Kan bapak bisa baca di situsnya, ada 'kb'nya. Itu berarti kambing, pak. Tapi toh kambing pintar kok. Disuruh nyetir bisa, masak bisa, jenggotnya sudah dicukur dan bulunya halus pak"
-"Tapi pak… ITU MASIH AJA KAMBING!"
-"Ya kalau ingin ketemu wanita asli mah, jangan cari 'kb', iklan itu memang buat penikmat 'kb' pak..."


Di sinilah muncul dorongan-dorongan yang tidak wajar serta rasa ngidam akan sate dan saus kacang.
Setelah mandi berkali-kali, dengan kesabaran yang berasal dari lubuk hati, sang pencari bakal menemukan jodohnya. Tidak hemat pulsa, tidak hemat tenaga, tetapi… apa yang nggak demi jodoh?


"Eh, Dan…"
Kenapa lagi?


"Sudah selasai blom? Aku mau nanya."


Tanya apa?


"Loe memang nyari hape kan? Soalnya kalo benaran nyari harim gw tahu toh situsnya"


Anda saya menyerapah selama tujuh turunan. Demikian.

Friday, October 4, 2013

Kota Ubud, Surga Kereta

Di kota Medan, kata 'sepeda motor' sering disebut 'kereta'.
Setelah bertahun-tahun di kepulauan Nusantara ini, aku baru saja menyadari bahwa selain memiliki arti "sepeda motor" ada titik umum satu lagi diantara kedua kata itu: kota Ubud, Bali (Anda penasaran? Silakan baca).

Bagi yang belum pernah ke lokasi itu, anda harus tahu: Angkot Ubud itu satwa yang nyaris punah, maka jika anda ingin mandiri, anda harus memiliki/menyewa sepeda motor.

"Ya iyalah sewa motor. Mang loe pikir Ubud itu kek Jakarta, tinggal naik busway gitu?"

Tenang dulu, aku belum selesai... Tetapi, sindinran anda sangat menarik. Sebenarnya, andaikan anda menjelajahi Jalan Raya Ubud diantara jam 12 siang dan 5 sore, pendapat anda pasti berubah… Ternyata Ubud itu mirip Jakarta. Banget.

"Ngaco aja loe, Ubud itu satu jalan, tiga gang dan satu pasokan tukang yoga, apa hubungannya ama Jakarta coba?"

Hubungannya… Bus-bus ukuran medium dan besar berantai-rantai, yang berhenti di pinggir jalan secara tidak teratur, gerombolan-gerombolan pemuda bermotor yang mengalir ke Circle K (pengganti lokal "Sevel") tiap pulang dari sekolah, dan kadar macet yang menjamin asupan harian karbon monoksida anda.

"Lho. Kota segede dua biji beras kok macet?"

Entah. Perkembangan setengah liar kek, arus wisatawan yang terus menderas kek, kekurangan tempat parkir kek… Yang pasti, seketika  kendaraan apapun berusaha meninggalkan jalur utama untuk belok ke gang-gang di sampingnya, satu jalur harus berhenti. Kalau seorang sopir berpapasan dengan temannya, dia akan mengurangi kecepatannya hingga pengendara sebanyak tujuh banjar terpaksa merayap di belakangnya. Kalau soerang tamu nan lalai memutuskan untuk menyebrangi jalan, lalu berhenti di tengah-tengah sambil meresapi makna alam semesta, Seluruh kota Ubud harus diam.

"Dan, udah ah. Kebangetan. Terus hubungan ama kereta apa sih?"

Di Jakarta, lalu lintas seperti lautan: arusnya ada pasang dan surutnya, pelan tapi pasti. Di sana sepeda motor memang layak disebut sepeda motor: bermotor, padahal lambat seperti ontel.

Namun, di ubud, tidak ada istilah 'lautan kendaraan'. Arusnya tidak pasti, dan jalannya seperti rel kereta. Dan anda kan sudah tahu: di jalan rel, kalau gerbong depan tidak maju, gerbong-gerbong di belakangnya tinggal diam, duduk manis menunggu jemputan.

Demikian.

Thursday, August 22, 2013

Titik Nol: Kenapa Bahasa Indonesia?


Iya, aku tahu. Aku soerang ekspat alias WNA aka bule. Bebas saja mau panggil aku apa, si botak, bule palsu, sang pencipta… bukan masalah. Saking lama aku injak tanah Indonesia, nama asli aku sudah dibongkar, didandani dan dipasang lagi dengan warna merah putih, berkibar seperti bendera pada hari kemerdekaan.

Setiap hari makan nasi. Setiap hari nongkrong ngerumpi bersama rekan-rekan kantor yang hampir semua berasal dari kota Bandung atau Yogyakarta. Sekarang saja, lambungku masih mengandung sisa minumban bersoda Tebs dari warteg di samping kantor.

"Yah, sudah lah ya Dan, kita kan sudah tahu. Kamu di Indonesia sudah cukup lama, nggak usah pamer"

Eh… tunggu dulu coy, ane kan blom slasai ngomong! Ada tapi-nya lho!

(Ini dia) TAPIIIIII…

Sehabis bekerja, ketika pulang ke tempat hunianku yang belum layak disebut rumah namun jauh lebih lengkap daripada kamar indekost (buset aku suka toh kata… cocok deh buat anak-anak disko di jakarta… DJ Kevin In Da House, DJ Putri Indekost, yang satu lagi ng-hobi sambil berliburan, yang satu lagi mencari muka, nama dan adrenalin dengan gaji setara tukang cuci piring… [/intermezzo])… Intinya, setelah pulang, aku suka lari ke dapur dengan tujuan masak roti prancis. Kalau nggak, salad. Kalau nggak pasta. Saat berkumpul dengan teman-teman, mereka sering terdiam seperti mengheningkan cipta saat aku bercanda dengan penuh ketidaksenambungan tentang korelasi diantara marmut dan oven microwave. Bahkan aku haru berusaha cukup keras untuk menahan refleks cupika-cupiki saat perkenalan dengan orang baru.
Inilah keprancisanku. Nan totok.

Dengan mengetahui fakta-fakta yang sangat penting ini…

"Anjius Dan… bahasa loe kek anggota DPR… loe bisa nggak cepetin dikit cerita loe? Kita lapar neh ntar kena maag"

PRET! Sabar dikit bisa nggak ya?


  1. Nampaknya, ceritaku ini sudah berkepanjangan. Baik, aku berikan kalian versi TL;DR (Terlalu Lama; Dah Rontok). Tulisan-tulisan di blog ini adalah ombak-ombak hatiku yang dipancar oleh layar kalian (cieee). Aku tidak ingin blog ini dibaca oleh orang yang tidak bisa anggap intinya. Jika anda paham kata-kataku, anda pasti juga memahami perjuanganku untuk menjinaki bahasa gampang nan rumit ini. Kalau anda tidak mergerti, anda salah kamar, sebaiknya anda mencoba mampir ke blog seberang yang membahas asusilanya perampuan lokal dan susah-payahnya kehidupan di Indonesia dengan gaji sepuluh kali lipat daripada warga-warga setempat. Elitiskah aku? Mungkin. Jadi?
  2. Aku memang ingin memperbaiki kemampuanku dalam bahasa Indonesia. Tidak ada salahnya dan aku dapat menyindir kaum bule dan kaum CaBul (calon bule alias penjajah mingguan aka wisatawan) semau-mauku.
  3. Tidak ada alasan lain.
  4. Tidak ada poin ke-empat.


"Jadi loe bikin intro setebal alis bencong dan poin-poinnya dua doang?"

Ya terus? Koleksi alis bencong aku sudah bayak. Sayang nggak dipakai...